Haeinsa: Kuil di Gunung Gaya

Haeinsa (해인사, “Refleksi pada Lautan Tenang”) merupakan salah satu kuil buddhis penting di Gunung Gaya di propinsi Gyeongsang, Korea Selatan. Didirikan pada abad ke-9 Masehi dan dibangun ulang pada abad ke-19 Masehi, kuil ini paling terkenal karena menyimpan naskah buddhis terlengkap, Tripitaka Koreana.

Sejarah

Sejarah mengatakan bahwa Haeinsa pertama kali memulai sejarahnya pada tahun 802 oleh biksu Suneung dan Ijeong yang baru saja kembali dari Cina. Namanya memiliki arti “Kuil Refleksi pada Lautan Tenang,” diambil dari sebuah syair dalam sutra buddhis yang membandingkan kebijaksanaan Buddha dengan lautan yang tenang. Ketika pikiran terbebas dari arus gelombang nafsu duniawi dan kebodohan batin, pikiran akan mencapai sebuah ketenangan yang mana gambaran sebenarnya dari semua keberadaan dapat dipantulkan sejelas-jelasnya.

Segera setelah itu, kuil ini dibangun oleh raja Aejang setelah para biksu berhasil menyembuhkan istrinya. Menurut legenda, para biksu mengikat tumor pada ratu dengan satu ujung benang dan ujung benang lainnya diikatkan pada sebuah pohon, kemudian melafalkan sutra buddhis. Dengan ajaib tumor ratu lenyap sedangkan pohon mulai layu dan akhirnya mati.

Beberapa ratus tahun kemudian, abad ke-13 Masehi Korea sedang berperang melawan Mongol. Pemerintah Korea di dalam pengungsian di pulau Ganghwa, memerintahkan penulisan sebuah salinan kitab buddhis dengan harapan memperoleh intervensi Buddha dalam perang tersebut. Hasilnya adalah Tripitaka Koreana (ditulis 1237-1248) dianggap sebagai salinan kitab buddhis terbaik di Asia. Menurut tradisi, blok-blok kayu terbuat dari sejenis pohon putih yang kemudian direbus dalam air laut selama tiga tahun, kemudian dikeringkan selama tiga tahun lagi tanpa terkena matahari langsung.

Haeinsa mengalami musibah kebakaran pada tahun 1817, dimana hampir seluruh bangunan kuil hancur. Hanya perpustakaan Tripitaka di bagian belakang kompleks kuil, yang dibangun tahun 1488, berhasil selamat dari musibah itu. Aula sembahyang utama dibangun kembali pada tahun 1818 selama pemerintahan dinasti Joseon (Choson), di atas pondasi yang dibangun seribu tahun silam oleh dua biksu awal Haeinsa.

Aula perpustakaan dan blok-blok kayu kitab suci telah ditunjuk sebagai sebuah harta nasional Korea pada tahun 1962 dan sebagai Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1995.

Pada akhir abad 20, para biksu Haeinsa memasuki jaman komputerisasi, dengan seksama menulis ulang isi dari Tripitaka Koreana ke dalam bentuk elektroniknya sejak tahun 1992 hingga 1994. Naskah kuno ini sekarang disimpan dalam sebuah CD-ROM dan para biksu memiliki rencana lebih lanjut untuk menyediakan terjemahan paralelnya kedalam bahasa Korea modern dan memberikan referensi dan indeks lain yang lebih lengkap.

Apa yang Dilihat

Tripitaka suci Haeinsa terdiri dari 52,382,960 karakter Cina kuno yang dipahat di atas 81,258 blok kayu secara bolak-balik, dalam 6,802 volume. Kitab ini dikatakan sebagai yang tertua dan salinan kitab buddhis paling komplit di dunia, dan juga sebagai salah satu kitab suci yang paling indah yang pernah dibuat. Kitab ini dipajang di rak-rak dari ujung lantai hingga ke langit-langit dalam bangunan tertua di area kompleks tersebut (1488), yang disebut Janggyeong Panjeon.

Bangunan Janggyeong Panjeon sendiri sudah terkenal. Bangunan ini merupakan salah satu bangunan tertua terutama yang diperuntukkan untuk menyimpan artefak.

Aula sembahyang utama, Daejeokkwangjeon (Aula Keheningan dan Cahaya Agung), dibangun ulang tahun 1818 di atas pondasi kuno. Uniknya, aula ini menjadi tempat kediaman bagi patung Buddha Vairocana yang dipahat tahun 1769, dan bukannya patung Buddha Seokgamoni (Sakyamuni) seperti pada umumnya. Salah satu dari Lima Buddha Surgawi, Vairocana merupakan pusat dari alam semesta. Dibelakang patung adalah lukisan dinding tentang kehidupan Buddha.

 

Source:

http://www.sacred-destinations.com/south-korea/haeinsa.htm

 

Bulguksa: Kuil Tanah Buddha

Bulguksa (불국사, “Kuil Tanah Buddha”) adalah sebuah kuil buddhis di utara propinsi Gyeongsang, Korea Selatan. Walaupun telah banyak direstorasi, kuil ini merupakan contoh penting dari arsitektur Silla dan merupakan rumah bagi tujuh harta nasional Korea.

Sejarah

Meskipun diberikan status penting saat ini, sungguh menarik bahwasanya Bulguksa tidak pernah diperuntukkan menjadi sebuah kuil utama. Kuil ini pada mulanya dibangun tahun 535 oleh Raja Pob-hung, sebagai tempat bagi ratunya untuk berdoa demi kesejahteraan kerajaan. Kuil kayu kecil itu kemudian diberi nama Hwaeombeomnyusa.

Kuil sekarang ini dimulai sejarahnya di tahun 751 oleh Perdana Menteri Kim Daeseong, yang seluruh hidupnya diliputi legenda. Dikatakan bahwa dia terlahir dengan menggenggam sebuah segel yang tertulis namanya dari inkarnasi sebelumnya, Kim Daeseong.

Kim Daeseong asli adalah arsitek legendaries dari kuil pertama di tempat ini, yang berhasil mengatasi kemiskinan dan kemelaratan dengan ketaatan terhadap ajaran Buddha – dia kemudian dipanggil “Dinding Besar” karena dahinya yang rata. Dia menjalani hidup yang begitu baik sehingga dia bereinkarnasi menjadi perdana menteri dengan nama yang sama, yang tumbuh besar sebagai penganut taat ajaran Buddha dan memberikan dukungan penuh.

Legenda mengatakan bahwa Perdana Menteri Daeseong sendiri yang mendesain kuil dan mendedikasikannya sebagai kenangan atas leluhur-leluhurnya. Entah benar atau tidaknya legenda ini, kuil ini selesai dibangun tahun 774 oleh kalangan kerajaan Silla dan diberi nama Bulguksa (“Kuil Tanah Buddha”).

Bulguksa pernah terbakar hingga rata selama invasi Hideyoshi Toyotomi di tahun 1592. Kuil ini kemudian direkonstruksi ulang sebagian selama masa pendudukan Jepang di Korea (1910-1945) dan baru benar-benar utuh kembali di bawah pemerintahan Presiden Park Chung-Hee (1961-1979).

Kuil Bulguksa ini menambah daftar Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1995, bersamaan dengan Gua Seokguram.

Apa yang Dilihat

Meskipun hampir semua bangunan di Bulguksa adalah hasil rekonstruksi, pondasi dan pagoda bersejarahnya masih asli.

Kompleks kuil ini dimasuki dengan sebuah tangga dan jembatan. Tangga ini memiliki kemiringan 45 derajat dan total 33 anak tangga, yang mewakili 33 langkah pencerahan. Kuil ini kemungkinan besar dibangun tahun 750 selama pemerintahan Raja Gyeongdeok. Jembatan lengkung dibawah tangga menggambarkan jembatan lengkung gaya Silla.

Bagian bawah, Cheongungyo (청운교, Jembatan Awan Biru) memiliki panjang 6.3 meter dan 17 anak tangga. Bagian atas, Baegungyo (백운교, Jembatan Awan Putih) memiliki panjang 5.4 meter dan 16 anak tangga. Tangga ini menuju Jahanum (자하문, Gerbang Kabut Ungu), yang menuju ke aula utama.

Kompleks kuil ini memiliki dua lapangan utama, satu di sekitar Buddha Sakyamuni dan satu lagi di sekitar Aula Surga.

Daeungjeon (대웅전), Aula Pencerahan Agung, adalah aula utamanya. Aula ini memiliki patung Buddha Sakyamuni dan dibangun pada tahun 681. Di depan aula utama terdapat dua pagoda.

Kedua pagoda ini merupakan harta nasional – Seokgatap adalah harta nasional #20 dan Dabotop harta nasional #21. Keduanya didesain oleh maestro legendaries Asadal di abad ke-8 dan menjadi pasangan yang saling melengkapi. Komplesitas dari Dabotop diimbangi dengan kesederhanaan Seokgatap dan keduanya dikatakan sebagai mainfestasi dari perenungan simultan Buddha dan pelepasan dari keduniawian.

Pagoda betingkat tiga, setinggi 27 kaki, Seokgatap (Pagoda Sakyamuni) adalah pagoda batu bergaya tradisional Korea dengan dekorasi minimal dan garis-garis sederhana. Pagoda ini meskipun memiliki gaya yang serupa dengan kebanyakan pagoda lainnya di area Gyeongju, tetapi memiliki kualitas yang lebih unggul. Pagoda ini dikelilingi batu berbentuk delapan teratai, mungkin menyimbolkan delapan teratai yang jatuh dari surge sebagaimana tertulis dalam Sutra Teratai. Selama pekerjaan rekonstruksi, harta-harta ditemukan di dalamnya: sebuah sutra, sebuah kotak sari, pelat sutra perak, dan sebuah salinan blok kayu dari Dharani sutra yang ditulis setelah 704 Masehi.

Dabotap (Pagoda Banyak Harta) memiliki tinggi 10.4 meter (34 kaki) dan didedikasikan bagi Buddha Banyak Harta. Imejnya terdapat dalam koin 10 won Korea Selatan. Kontras dengan Seokgatap, pagoda ini benar-benar dihiasi dan menyimbolkan kompleksitas alam semesta. Batu-batu pahatnya dipasang satu sama lain tanpa menggunakan mortar dan beberapa dipahat seperti batang bambu, sebuah motif yang juga digunakan oleh tukang kayu Korea di Horyuji di Nara, Jepang. Ruang di dalamnya kemungkinan besar pernah diisi dengan sebuah patung Buddha.

Di belakang aula utama terdapat aula meditasi Museoljeon (무설전, Aula Tanpa Kata), dinamakan atas keyakinan bahwa ajaran Buddha tidak dapat diajarkan hanya dengan sekedar kata-kata saja. Aula ini merupakan salah satu bangunan tertua dalam kompleks kuil ini dan kemungkinan didirikan tahun 670.

Gwaneumjeon (관음전, Altar Avalokitesvara) memiliki patung Avalokitesvara, Bodhisattva Cinta Kasih Sempurna, dan berdiri di puncak tertinggi kompleks ini.

Birojeon (비로전, Aula Buddha Vairocana), yang berada di bawah Gwaneumjeon, memiliki sebuah patung Vairocana, yang merupakan harta nasional #26.

Geuknakjeon (Aula Berkah Utama, 극락전), terletak dekat halaman utama, dan memiliki patung Buddha perunggu yang merupakan harta nasional #27.

 

Source:

http://www.sacred-destinations.com/south-korea/bulguksa.htm